Tidak berpoligami memang mubah, tetapi sejarah menunjukkan monogami merupakan upaya penjajah Belanda mengkristenkan Nusantara. Fakta tersebut diungkap Arief Muthofifin dalam skripsinya yang berjudul 'Christiaan Snouck Hurgronje Arsitek Urusan Perdata Kolonialistik Hindia Belanda' untuk meraih gelar sarjana Ilmu Syariah Jurusan Ahwalul Syakhshiyah Fakultas Syariah Institut Agama Islam Negeri (IAIN) Walisongo Semarang pada 2010.
Sepanjang peradaban Islam tegak, mulai dari Negara Islam pertama yang dipimpin oleh Rasulullah SAW di Madinah, kemudian dilanjutkan oleh Khilafah Rasyidah, Khilafah Umayah, Khilafah Abbasiah hingga Khilafah Utsmani termasuk berbagai Kesultanan Islam di Nusantara, poligami merupakan praktik pernikahan yang halal (legal), lazim dan bukan sebagai penyebab timbulnya masalah. Justru poligami dipermasalahkan ketika Belanda berhasil menjajah Nusantara tatkala berupaya mengkristenkan penduduknya untuk meminimalisir perlawanan terhadap kolonialisasi.
Arief Muthofifin mencatat lima hal penting terkait monogami yang dipaksakan penjajah tersebut. Pertama, ide pernikahan harus monogami merupakan upaya kolonial ikut campur tangan dalam persolan ibadah atau agama murni. Padahal, Hurgronje dalam nasihatnya menyatakan dalam hukum yang murni agama pemerintah hendaknya netral. Poligami merupakan hukum yang murni agama.
Tetapi anehnya Hurgronje menginginkan kaum Muslim melakukan monogami. Pernikahan harus monogami seperti diinginkan Christiaan Snouck Hurgronje ialah bentuk reduksi atas hukum Islam. “Kekayaan khazanah hukum Islam benar-benar dikerdilkan olehnya hanya untuk mendukung cita-cita kolonialisme,” tulis Arief.
Kedua, agar Muslim Hindia Belanda menjadi pelaksana amaliah orang (Kristen) Eropa yang hanya boleh menikahi seorang perempuan (memiliki satu istri). Karena kolonialisme tidak hanya untuk kepentingan kekayaan (gold) yang ada di Nusantara tetapi juga kristenisasi (gospel).
"Meskipun tujuan mengkristenkan seluruh penduduk jajahan tidak tercapai setidaknya ajaran-ajaran Kristen diamalkan masyarakat Muslim Hindia Belanda. Dengan begitu, secara nonformal, Muslim Indonesia ialah sangat Kristen (baca: mimicry) dalam ajarannya. Sekaligus pengikut tertib hukum keluarga yang juga Kristen (Eropa). Sehingga ‘tidak ada bedanya’ antara Muslim dan Kristen karena kedua-duanya sama pelaksana ajaran sekaligus kepentingan Kristen (Eropa),” bebernya.
Ketiga, pernikahan monogami, seperti ini disebutkan Hurgronje akan mendorong Indonesia, ke arah dunia modern (kemajuan). Asas monogami sedang ingin memajukan Muslim Pribumi yang ‘terbelakang’ agar lebih dekat (seperti) kehidupan modern (Eropa) yang ‘lebih maju’.
“Di sini, umat Islam pribumi, benar-benar sedang dikebiri oleh Abdul Ghaffar atau Hurgronje sebagai manusia ‘terbelakang’. ‘Terbelakang’ dalam maksud kolonialisme adalah lebih mirip dengan moyangnya (kera). Asas monogami berupaya menjadi Muslim yang mirip kera bodoh ini semakin maju dengan mengikuti konsep keluarga Eropa yang keseluruhannya hanya monogami. Satu orang pun dilarang (haram) berpoligami (kira-kira) dengan alasan apa pun,” terang Arief.
Keempat, alasan kebudayaan akan pula menjelaskan kepentingan di balik asas monogami. Para ulama Nahdlatul Ulama pernah memberikan pendapatnya dari sisi budaya ini. Yakni, Eropa dan Indonesia memiliki budaya yang berbeda dan masyarakatnya juga disusun atas sistem yang berbeda. Keliru jika Indonesia kemudian disamaratakan dengan Eropa bahwa segala bentuk pernikahan harus monogami.
Dalam Berita Nahdlatoel Oelama No. 16, 1 Juli 1937, diterangkan suatu akibat laki-laki dilarangan beristri lebih dari satu orang perempuan. Hal ini dicontohkan di Eropa, masyarakat yang anti poligami, memunculkan budaya baru. Yaitu, laki-laki biasa memiliki perempuan lagi dengan cara yang tidak benar atau pergundikan. Bahkan, muncul perkumpulan-perkumpulan hotel (hotel-societeit) yang melegalkan pergundikan.
Praktik pergundikan seperti itu pula sepertinya yang telah dilakukan Hurgronje dengan menikahi secara Islam perempuan pribumi: Sangkana dan Sadijah. Bagaimana tidak? Terbukti setelah pernikahan-pernikahan dalam Islam dengan dua perempuan pribumi tadi, Hurgronje pada 1906 kembali ke Belanda, lalu dia menikahi Ida Maria pada 1910. Ida Maria merupakan putri Dr. AJ Oort pensiunan pendeta liberal di Zutphen.
Hubungan pernikahan dengan Ida Maria tetap terjalin sampai Hurgronje meninggal dunia (26 Juni 1936) di Leiden. Sedangkan anak-anaknya dari mengawini perempuan pribumi dilarang ke Belanda (meskipun untuk belajar) sekaligus tidak boleh memakai ‘Snouck Hurgronje’ pada tiap-tiap namanya.
“Fakta ini merupakan bentuk Christiaan Snouck Hurgronje tidak mengakui anak-anak Indonesianya,” simpul Arief.
WARISAN PENJAJAH
Arief pun menilai asas monogami dalam UU RI No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan kepanjangan tangan kolonial. Karena asas itu sebagaimana yang pernah direncanakan Hurgronje yang menghendaki pernikahan monogami dan menghapus poligami. Sebagaimana cita-citanya yang ingin melihat masyarakat Indonesia, terutama Jawa, menjalani hidup wajar dengan monogami.
“Artinya, poligami tidak wajar,” ujar Arief menyimpulkan logika berpikir Hurgronje.
Ia juga menyebutkan asas monogami ini juga selaras dengan Ordonansi Mengenai Pencatatan Pernikahan pada 1937 yang merencanakan pernikahan monogami dan dicatat. Artinya, asas monogami dalam pernikahan di Indonesia (UU No. 1/ 1974) merupakan kepanjangan tangan dari kepentingan kolonialisme.
Hukum perkawinan Indonesia memang tidak mengharamkan poligami. Bagi laki-laki, masih diberi kesempatan punya istri lebih dari seorang. Namun, asas monogami tidak bisa mengingkari dari sejarah kolonialnya.
.
“Jika Christiaan Snouck Hurgronje masih berusia panjang hingga saat ini pasti dirinya akan berbangga buah pikirannya dipakai dalam hukum Indonesia,” pungkasnya.[]
Dimuat pada rubrik Kisah tabloid Media Umat Edisi 237 (Pertengahan Februari 2019).
Tidak ada komentar: