Keseriusan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar di dunia saat ini tengah diuji saat umat Muslim di India menjadi sasaran kekerasan umat Hindu di bawah pemerintahan Perdana Menteri Narendra Modi. Sikap tegas pemerintah Indonesia tentu saja akan berhadapan dengan kepentingan untuk menggenjot ekspor sawit ke India. Komitmen Indonesia pada Hak Asasi Manusia (HAM) pun diragukan.
Melansir The Guardian, per 27 Februari 2020 lalu lebih dari 38 orang meninggal dan ratusan orang terluka menyusul konflik antara pemeluk Hindu-Islam di India. Konflik itu dipicu oleh Undang-Undang (UU) Anti-Muslim atau UU Amandemen Warga Negara atau "Citizenship Amendment Bill" (CAB) India.
Menteri Agama Fachrul Razi sempat mengecam keras peristiwa yang mengatasnamakan agama itu. Ia bilang tindakan kekerasan oleh sekelompok umat Hindu di India tidak menggambarkan ajaran agama Hindu sendiri, tetapi akibat adanya pemahaman ekstrem sebagian umat Hindu atas ajaran agamanya.
“Tindakan kekerasan itu sangat tidak berperikemanusiaan dan bertentangan dengan nilai-nilai agama,” ucap Fachrul dalam keterangan tertulis, Jumat (28/2/2020).
Namun kecaman dari pemerintah Indonesia ini agaknya tak terlalu memberikan pengaruh besar bagi pemerintah India untuk mengambil kebijakan. Peneliti Human Right Watch (HRW) Andreas Harsono menilai kecaman saja tidak cukup. Menurutnya, pemerintah Indonesia harus tegas dengan mendesak pemerintah India agar UU itu dibatalkan. Dari analisis HRW, Andreas bilang UU itu punya nuansa “anti Islam”.
UU ini disebut-sebut bakal mempersulit umat Muslim memiliki kewarganegaraan di India. Entah itu orang India asli maupun imigran seperti pengungsi Rohingya yang dipersekusi di Myanmar sekalipun. HRW pun berani menyebutnya sebagai “UU yang mendiskriminasi umat Muslim”.
Di sisi lain UU ini malah memungkinkan imigran non-Muslim dari Afghanistan, Bangladesh, dan Pakistan bisa mendapat status kewarganegaraan. Belum lama disahkan saja, ia mencatat telah ada demonstrasi dari kalangan Hindu dan beberapa hari lalu berujung kekerasan pada umat Muslim.
“Pemerintah menurut saya kurang tegas. Harus minta UU itu dibatalkan,” ucap Andreas saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (29/2/2020).
Agaknya, sikap kurang tegas pemerintah Indonesia ini disebabkan adanya nasib hubungan dagang antara Indonesia dengan India. Pemerintah Indonesia sepertinya tak akan terlalu keras dan tegas menyikapi aksi kekerasan terhadap umat Muslim di India.
Ini karena India masuk sebagai importir sawit terbesar di dunia dan kebetulan Indonesia sedang menyiapkan ancang-ancang itu. Karenanya, sikap business as usual memang tak terhindarkan.
Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian, Agung Hendriadi menyebutkan Indonesia sudah siap melakukan barter untuk memuluskan masuknya komoditas sawit dengan melakukan impor produk India.
“Kami mengajukan juga kebutuhan impor baru 130 ribu ton dari india. Ini kita barter, kalau enggak, sawit kita enggak masuk ke sana,” ucap Agung Hendriadi kepada wartawan di Menara Kadin, Kamis (27/2/2020).
India Mitra Dagang Strategis
Kehati-hatian pemerintah Indonesia ini dimaklumi Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Ahmad Heri Firdaus. Heri mengatakan Indonesia memang mau tak mau harus berhati-hati dalam merespons gejolak politik di India. Jika perlu, menurutnya, Indonesia tak perlu melakukan intervensi terlalu dalam.
Pasalnya Indonesia membutuhkan India untuk meningkatkan ekspor sawitnya. Posisi India saat ini menduduki posisi kedua dengan nilai 4,8 juta ton, hanya kalah dari Cina di angka 6 juta ton sepanjang 2019. Jumlah konsumsinya di dunia adalah 16 persen pangsa pasar global.
Di sisi lain, pasar India ini jadi penting karena Indonesia tengah mengalami hambatan ekspor ke Uni Eropa gara-gara kebijakan Renewable Energy Directive (RED II).
Situasi diperburuk dengan penurunan ekspor kelapa sawit ke Cina karena mewabahnya virus Corona atau COVID-19, ditambah adanya perlambatan ekonomi global sejak 2019 lalu.
Peringatan Heri ini beralasan karena India sempat memboikot sawit Malaysia. India kemudian mengambil pasokan sawitnya dari Indonesia meski dengan harga tinggi sekalipun.
Mahathir Mohamad saat masih menjabat Perdana Menteri mengecam lebih awal diskriminasi yang dilakukan India terhadap umat Muslim.
Kecaman ini dilakukan Mahathir pada Desember 2019. Meski India resmi menghentikan importasi sawitnya dari Malaysia pada Januari 2020, Mahathir sampai saat ini tetap mengecam sikap anti-Islam yang dilakukan pemerintah India. Melansir Deutsche Welle pejabat tinggi Malaysia bahkan sudah mempersiapkan alternatif tujuan ekspor untuk menggantikan pasar India.
Turki pun sempat memprotes kebijakan yang dikeluarkan pemerintah India. Alhasil, India mengancam dengan melakukan pengurangan impor terhadap sejumlah komoditas dari Turki.
Pemerintah Indonesia Didesak Bersuara
Selain sawit memang masih ada sejumlah produk lain yang akan diekspor ke India, misalnya baja, karet alam, asam lemak. Sebagai negara Muslim terbesar, Indonesia justru memberi sinyal akan memperbanyak komoditi impornya seperti gula, daging kerbau, bawang putih sampai suku cadang kendaraan bermotor.
“Kita enggak usah ikut-ikutan urusan internal India. Bisa kasih saran tapi jangan intervensi. Nanti India ngambek enggak mau beli dari kita,” ucap Heri saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (29/2/2020).
Lain halnya dengan pandangan Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid bahwa aspek perdagangan tak bisa dijadikan alasan Indonesia tak tegas terhadap diskriminasi yang dilakukan pemerintah India. Menurutnya, pemerintah dan DPR harus mendesak para pemimpin politik India agar tidak memicu kebencian dan iklim politik kekerasan baik itu melalui pidato maupun UU baru ini.
Ia juga mengingatkan UUD 1945 sebagai landasan konstitusi negara Indonesia mencatat komitmen untuk turut menjaga perdamaian dunia. Tak melakukan tindakan apa-apa hanya akan menafikan kewajiban konstitusional yang pemerintah buat sendiri.
“Meski hubungan kerjasamanya sangat dekat termasuk di sektor sawit, Indonesia tetap harus memastikan bahwa pemimpin politik India harus bisa dimintai pertanggungjawaban sesuai kewajiban HAM di bawah hukum internasional,” ucap Usman saat dihubungi reporter Tirto, Sabtu (29/2/2020).
Deputi IV Bidang Komunikasi Politik dan Diseminasi Informasi Kantor Staf Presiden Juri Ardiantoro mengaku belum dapat berkomentar soal rencana impor gula dari India yang sudah disiapkan pemerintah apakah terganggu dengan adanya konflik di India. Juri hanya bisa berkata, “Saya pahami dulu ya.”
Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Indrasari Wisnu Wardhana juga enggan mengomentari mengenai kelanjutan rencana impor gula dari India yang sudah disiapkan pemerintah saat ini. Kepada wartawan di Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jumat (28/2/2020) lalu ia hanya menjawab, “No comment.” tirto.id
Tidak ada komentar: