Imam Ibnul Jauzi bercerita:
Dahulu di kota Baghdad ada seorang lelaki pedagang yang sangat kaya. Ketika ia sedang berada di tokonya, datang seorang wanita muda dan cantik, tampak seperti mencari sesuatu yang hendak dibeli.
Ketika sedang berbicara dengannya, tiba-tiba wanita itu membuka cadarnya. Tampaklah wajah yang cantik berseri-seri.
Lelaki itu menjadi gelisah lalu mengatakan, "Demi Allah, aku sangat gelisah dengan apa yang baru saja kulihat."
Wanita itu mengatakan, "Sebenarnya saya datang ke sini bukan untuk membeli sesuatu. Saya datang ke sini hanya karena beberapa hari terakhir ini saya sering mondar-mandir di pasar lalu hati saya tertambat pada seorang lelaki yang saya ingin sekali ia menikahiku. Lelaki itu adalah anda. Sungguh hati saya jatuh pada anda dan saya adalah orang kaya. Saya punya banyak harta. Maukah anda menikahi saya?"
Lelaki itu menjawab, "Saya sudah punya istri dan saya telah berjanji untuk tidak menggantikannya dengan siapapun. Saya juga punya anak darinya."
Wanita itu menjawab, "Saya rela seandainya anda mendatangi saya dua kali dalam seminggu."
Akhirnya lelaki itu menerima tawarannya. Keduanya mulai melangsungkan akad pernikahan hingga melakukan hubungan badan.
Lelaki itu kemudian pulang ke rumahnya dan menemui istri pertamanya lalu mengatakan, "Ada temanku yang memintaku supaya aku menginap di rumahnya malam ini."
Lelaki itu pergi menuju rumah istri barunya setelah Zhuhur setiap hari.
Hal ini terus berlangsung selama delapan bulan.
Lama-kelamaan istri pertamanya mulai curiga dengan keadaan suaminya. Ia menyuruh seorang perempuan pembantunya untuk mengawasi suaminya, "Kalau suami saya keluar, lihatlah ke mana ia pergi."
Perempuan pembantu itu membuntuti majikannya ke mana ia pergi hingga ke tokonya. Setelah Zhuhur, majikannya beranjak pergi dan pembantu itu terus membuntutinya.
Hingga sampai di suatu rumah istri keduanya. Pembantu itu lalu mendatangi rumah tetangganya dan bertanya kepada mereka, "Milik siapa rumah ini?"
Mereka menjawab, "Ini adalah rumah milik seorang wanita kaya yang baru saja menikah dengan seorang lelaki pedagang yang juga kaya."
Kemudian pembantu itu kembali menghadap istri majikannya dan menceritakan apa yang baru saja ia dapati.
Istri pertama menjawab, "Tolong jangan beritahu siapapun tentang berita ini."
Ia pun menampakkan ekspresi yang tidak berubah sama sekali dengan sebelumnya di hadapan suaminya.
Hingga akhirnya genap setahun lelaki itu menjalani pernikahan barunya. Kemudian ia jatuh sakit dan meninggal dunia.
Ia meninggalkan harta warisan sebesar delapan ribu Dinar.
Istri pertamanya membagi-bagi harta warisan tersebut sesuai jatahnya. Tujuh ribu Dinar ia berikan kepada anaknya. Sedangkan seribu sisanya ia bagi menjadi dua sama rata. Setengahnya ia masukkan ke dalam sebuah kantong lalu ia menyuruh pembantunya, "Pergilah menuju rumah wanita yang menjadi istri keduanya itu lalu beritahukan kepadanya bahwa suaminya telah meninggal dunia dan meninggalkan harta warisan sebesar delapan ribu Dinar. Anaknya telah mengambil jatahnya sebesar tujuh Dinar. Sedangkan sisanya dibagi dua sama rata untuk dua istrinya. Dan ini adalah jatah wanita itu."
Pembantu itu kemudian pergi dan mengetuk pintu rumah wanita kedua. Setelah masuk, ia memberitahukan kepadanya perihal kematian suaminya dan harta warisannya.
Mantan istrinya itu menangis lalu membuka sebuah kotak dan mengeluarkan harta benda dari dalamnya lalu mengatakan kepada pembantu, "Kembalilah kepada majikanmu. Serahkanlah barang ini kepadanya. Beritahukan kepadanya bahwa lelaki itu telah menceraikan saya dan menulis sebuah wasiat bahwa saya tidak berhak mendapatkan warisan. Bawalah kembali harta ini karena saya tidak berhak mengambilnya sedikit pun sama sekali.
Pembantu itu lalu pulang dan menceritakan kejadian tersebut.
Sumber: Shifatus Shafwah karya Ibnul Jauzi.
Diterjemah oleh: Abul Faruq Danang Kuncoro W (semoga Allah mengampuninya).
Diterjemah oleh: Abul Faruq Danang Kuncoro W (semoga Allah mengampuninya).
Tidak ada komentar: