seorang ahli Nahwu bercerita:
Aku pernah melihat seorang buta sedang meminta-minta kepada orang-orang.
Pengemis itu berkata:
ضَعِيْفًا مِسْكِيْنًا فَقِيْرًا
Orang lemah, miskin dan fakir
Aku dibuat penasaran oleh kata-katanya. Kutanyakan padanya, “Mengapa kamu me-nashab-kan (membaca fathah) ucapanmu ضَعِيْفًا مِسْكِيْنًا فَقِيْرًا ?”
Dia menjawab, “Aku baca fathah dengan menyembunyikan kata kerjanya.”
Kata kerja yang dimaksudkannya adalah lafal اِرْحَمُوْا (kasihanilah!).
Jawaban yang cerdas, pikirku. Tidak perlu menunggu lama, aku keluarkan semua uang yang ada padaku lalu kuserahkan padanya karena senang dengan apa yang barusan pengemis buta itu katakan.
Penjelasan:
Pola dasar kalimat di atas adalah:
Aku dibuat penasaran oleh kata-katanya. Kutanyakan padanya, “Mengapa kamu me-nashab-kan (membaca fathah) ucapanmu ضَعِيْفًا مِسْكِيْنًا فَقِيْرًا ?”
Dia menjawab, “Aku baca fathah dengan menyembunyikan kata kerjanya.”
Kata kerja yang dimaksudkannya adalah lafal اِرْحَمُوْا (kasihanilah!).
Jawaban yang cerdas, pikirku. Tidak perlu menunggu lama, aku keluarkan semua uang yang ada padaku lalu kuserahkan padanya karena senang dengan apa yang barusan pengemis buta itu katakan.
Penjelasan:
Pola dasar kalimat di atas adalah:
ضَعِيْفًا مِسْكِيْنًا فَقِيْرًا اِرْحَمُوْا
Kasihanilah orang lemah, miskin dan fakir!
Kemudian, kata kerjanya disembunyikan sehingga tinggal apa yang seperti diucapkan pengemis tadi. Sebagai tanda kata kerjanya dihapus, si pengemis tadi membacanya dengan fathah: Dha’îfan miskînan faqîran.
semoga bermanfaaat
Kemudian, kata kerjanya disembunyikan sehingga tinggal apa yang seperti diucapkan pengemis tadi. Sebagai tanda kata kerjanya dihapus, si pengemis tadi membacanya dengan fathah: Dha’îfan miskînan faqîran.
semoga bermanfaaat
Tidak ada komentar: