Inilah Penilaian Bijak Syaikh Ibnu Utsaimin Tentang Sayyid Qutb.

kitab Fi Zhilal Al-Qur’an
Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah pernah ditanya, “Sayyid Qutb ia adalah seorang yang begitu tersohor di dunia Islam dengan pemikirannya. Sedangkan kalangan umat Islam berselisih dalam memberikan penilaian pada Sayyid Qutb, ada yang memberikan sanjungan positif dan ada yang mendiskreditkannya. Kami sangat berharap engkau bisa menjelaskan kepada kami penjelasan yang memuaskan mengenai hal ini. Lalu bagaimanakah sikap muslim yang tepat terhadap Sayyid Qutb karena pengaruh beliau besar sekali di dunia Islam. Beliau punya peninggalan-peninggalan berupa buku dan karya tulis. Kami sangat butuh sekali penjelasan dari Anda wahai Syaikh.”

Syaikh Ibnu Utsaimin menjawab, “Pertama, barakallahu fiikum, aku tidak suka melihat perselisihan dan pertentangan pada pemuda muslim karena sibuk membicarakan satu orang, baik membicarakan Sayyid Qutb maupun yang lainnya. Yang baik adalah jika perdebatan itu terjadi ketika membahas hukum syar’i. Yang ada misalnya, kita melihat perkataan Sayyid Qutb, dan ada perkataan lainnya pula. Untuk hal ini, kita katakan apakah perkataan beliau itu benar dan batil. Lalu kita saring. Jika perkataan itu benar, kita terima. Jika perkataan itu batil, kita tolak. Adapun yang terjadi di kalangan pemuda saat ini, menjadikan pendapat Sayyid Qutb sebagai ajang perdebatan. Akhirnya ada yang mengambil pendapatnya dan ada yang menolaknya (bukan menerangkan mana yang benar dan mana yang salah, pen), ini jelas kesalahan yang fatal.

Ingatlah bahwasanya Sayyid Qutb tidaklah maksum. Para ulama yang melebihi beliau juga sama halnya tidak maksum, sebagaimana pula yang berada di bawah beliau. Setiap orang diambil perkataannya dan ditolak kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, perkataan beliau jelas diterima apa pun keadaannya.

Oleh karena itu, kami melarang para pemuda yang menjadikan landasan dalam berdebat adalah karena perselisihan pada satu person, siapa pun itu. Karena jika perdebatan yang terjadi adalah pada person, maka bisa jadi kebenaran dibatalkan lantaran person, bisa jadi pula kebatilan terus dibela hanya karena faktor personal. Ini benar-benar berbahaya. Karena kalau ada yang sudah fanatik pada seseorang, lalu ada lagi yang lainnya fanatik pada person lain yang berseberangan, akhirnya yang dikatakan harus berbeda dengan musuhnya atau perkataan lainnya diselewengkan, atau melakukan hal semisal itu. Atau kadang yang saling bermusuhan ini akan saling membantah dan dianggap perkataan lainnya hanyalah kebatilan.

Aku katakan bahwa janganlah sibuk membicarakan person. Jangan pula kita fanatik pada seseorang. Sekarang Sayyid Qutb sudah meninggal dunia. Ia sudah berpindah dari dunia tempatnya beramal ke negeri akhirat tempat pembalasan. Allah Ta’alanantinya yang akan menghisabnya. Sama halnya dengan ahli ilmu lainnya yang telah meninggal dunia demikian pula.

Adapun yang benar, maka wajib diterima, baik yang datang dari Sayyid Qutb atau lainnya. Sedangkan yang batil wajib ditolak, baik yang datang dari Sayyid Qutb atau lainnya. Kalau ada kebatilan yang ditemukan dari tulisan, dari yang didengar, baik dari person ini dan lainnya, wajib untuk diingatkan (ditahdzir). Demikian nasihatku untuk saudara-saudaraku.

Jangan sampai obrolan kita hanya seputar merekomendasikan dan mengkritik person tertentu saja. Adapun Sayyid Qutb, aku menilai sama dengan yang lainnya. Ada pendapatnya yang benar dan ada yang batil. Dan ingatlah tidak ada seorang pun yang maksum.

Namun yang jelas peninggalan Sayyid Qutb tidaklah sama dengan peninggalan Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani. Perbedaan keduanya bagaikan langit dan bumi. Sayyid Qutb hanyalah seorang sastrawan dan punya wawasan Islamiyah. Ia amat jauh berbeda dengan Syaikh Al-Albani yang punya banyak penilitian dan terkenal luas ilmunya.

Oleh karena itu, aku memandang kebenaran itu diambil dari siapa saja, kebatilan juga ditolak dari siapa saja. Yang tidak baik—bahkan tidak boleh–untuk kita adalah kita menyibukkan diri dengan perdebatan dan perpecahan hanya gara-gara membahas person. (Liqaat Al-Bab Al-Maftuh, 6:264-265, pertemuan ke-130 dari Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Penerbit Muassasah Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, Cetakan pertama, Tahun 1438 H)

Pendapat Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin mengenai Kitab Fi Zhilal Al-Qur’an Karya Sayyid Qutb
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin pernah mendapatkan pertanyaan sebagai berikut, “Samahahatusy Syaikh, apa prinsip-prinsip akidah yang dianut oleh penulis kitab Fi Zhilal Al-Qur’an? Apakah buku tersebut bisa dijadikan rujukan untuk menafsirkan Al-Qur’an?

Jawaban beliau adalah sebagai berikut:

“Aku tidak memiliki hasrat untuk membaca buku tersebut. Aku yakin kitab-kitab tafsir yang terkenal semisal Tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Syaikh Abdurrahman bin Sa’di, Tafsir Abu Bakar Jabir Al-Jazairi dan Tafsir Al-Qurthubi memuat penjelasan yang jauh lebih baik dibandingkan Fi Zhilal Al-Qur’an.

Namun perlu diketahui bahwa dalam Tafsir Al-Qurthubi terdapat beberapa hadits yang lemah karena memang tidak memiliki kemampuan yang baik dalam masalah hadits. Sehingga dalam tafsirnya, beliau membawakan hadits yang sahih, hasan, dan daif. Yang jelas buku-buku tafsir yang ada sudah mencukupi sehingga kita tidak membutuhkan Fi Zhilal Al-Qur’an.

Tafsir Fi Zhilal Al-Qur’an sebenarnya bukanlah buku tafsir. Oleh karena itu, penulisnya menamai bukunya dengan judul Fi Zhilal Al-Qur’anyang artinya dalam bayang-bayang Al-Qur’an. Dengan kata lain, buku tersebut tidak menyelami kedalaman Al-Qur’an. Oleh sebab itu, kita jumpai gaya bahasa penulisnya adalah gaya bahasa yang bersifat umum. Penulis menyampaikan isi ayat Al-Qur’an hanya secara global. Penulis sangat jarang sekali membahas makna mendalam yang terdapat dalam kata demi kata dalam Al-Qur’an.

Di samping itu, dalam buku tersebut terdapat berbagai hal yang sangat berbahaya yang telah diingatkan oleh para ulama semisal Abdullah Ad-Duwaisy dan Al-Albani.

Sejak lama aku mengetahui kritikan Al-Albani terhadap penafsiran Sayid Qutb untuk surat Al-Ikhlas ayat pertama. Kemudian kulihat sendiri penafsirannya untuk ayat tersebut. Ternyata penafsirannya adalah penafsiran yang sangat mengerikan. Tidak mungkin ada orang yang menyetujuinya kecuali orang yang menganut faham wahdah wujud (di alam semesta ini hanya ada satu yang wujud atau ada yaitu Allah).

Demikian pula penafsiran Sayyid Qutb untuk sifat Allah istiwa atau berada di atas ‘Arsy. Dia menafsirkan istiwa’ dengan hegomoni dan menguasai. Ini adalah penafsiran yang serupa dengan penafsiran Mu’tazilah dan Asy’ariyyah dan orang-orang yang sejalan dengan mereka. Mereka semua menafsirkan istawa‘ dengan istaula yang bermakna menguasai.

Singkat kata, buku tersebut belum pernah kubaca secara tuntas.

Meski demikian, aku tegaskan bahwa penulis buku tersebut telah meninggal dunia. Jika dia salah karena berijtihad niscaya Allah akan mengampuninya. Orang yang berijtihad dari umat ini jika benar akan mendapat dua pahala. Jika salah dalam berijtihad akan mendapat satu pahala.

Akan tetapi, jika dia salah karena tidak sungguh-sungguh dalam mencari kebenaran maka Allah-lah yang mengurusi perkaranya.

Sedangkan untuk kita, sama sekali tidak boleh bagi kita untuk menjadikan prinsip beragama yang dianut seseorang atau buku tafsirnya sebagai pengikat hubungan di antara kita atau menjadikannya sebagai tolak ukur orang yang dicintai atau dibenci sebagaimana yang dilakukan oleh banyak orang pada zaman ini.

Banyak orang yang memiliki prinsip jika ada orang yang menyanjung Sayid Qutb maka dia adalah kekasih (baca:kawan) kita. Jika orang tersebut tidak menyanjung Sayid Qutb maka dia adalah musuh (baca:lawan) kita.

Ini adalah prinsip yang keliru. Kita berharap agar Allah mengampuni Sayid Qutb karena dia adalah bagian dari kaum muslimin yang bisa benar dan bisa salah.

Kita tidak boleh membicarakan pendapatnya yang benar ataupun yang salah untuk dijadikan sebab permusuhan di antara kita.

Buku-buku tafsir yang lain seribu kali lebih baik dari pada tafsir Sayid Qutb. Buku Fi Zhilal Al-Qur’an sebenarnya juga bukan buku tafsir sebagaimana yang telah kusampaikan. Penulis hanya berputar di sekeliling makna ayat yang sesungguhnya dengan menggunakan kalimat-kalimat global. Di dalamnya juga terdapat berbagai kekeliruan yang sebagian di antaranya telah kusampaikan. Boleh jadi dalam buku tersebut terdapat kesalahan yang lebih banyak lagi. Karena memang aku belum menelusuri kesalahan-kesalahannya satu persatu.

Hendaknya kaum muslimin berkata tentang dirinya, “Dia sebagaimana manusia yang lain, bisa salah dan bisa benar. Kita berharap agar dia mendapatkan ampunan terkait kesalahan yang dia miliki. Dia telah meninggal dunia. Kita juga tidak memiliki kewenangan sedikit pun tentang nasibnya di akherat”.

Tentang buku tafsirnya, kunasehatkan kepada orang yang ingin mengetahui tafsir Al-Qur’an dengan benar agar membaca buku-buku tafsir yang lain yang lebih baik dari pada buku tersebut

Ustadz Muhammad Abduh tuasikal, M SC | rumaysho.com

Tidak ada komentar: