Sudah menjadi hal biasa bagi kita melihat orang disekitar kita membaca Al fatihah atau yasin atau tahlil dan pahalanya diniatkan untuk mayyit, karna kebiasaan itu telah merata di Tanah Melayu dan sekitarnya bahkan hampir diseluruh daerah yang berpenduduk muslim.
Dengan membaca Al Fatihah dan semacamnya kita mengharap Allah taala memberikan kita pahala dari bacaan itu bukan?
Soal pahala adalah soal karunia Allah taala, karunia Allah adalah perkara gaib. Ia bukan sebagai kuitansi yang terang diterima dengan tangan.
Kemudian pahala itu kita hadiahkan kepada orang yang telah mati, sudah terangkah pahala itu ada ditangan kita?
Maka, setelah pahala yang telah kita terima itu kita minta tolong kapada Allah mengahadiahkannya untuk mayyit, masihkah kita berpahala juga?
Kalau memang perbuatan ini berasal dari agama, alangkah senangnya orang yang sudah mati! Selalu dikirim pahala oleh orang hidup.
Yang terang sebagai sunnah dan teladan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah mendoakan orang yang telah mati agar diberi rahmat, karunia dan kelapangan oleh Allah taala.
Berdoa demikian memang berpahala dan pahalanya untuk orang yang berdoa, adapun doa itu dikabulkan atau tidak, terserah kepada Allah sendiri.
Masih adakah hubungan orang yang sudah mati dengan yang masih hidup?
Tentu, jika orang yang telah mati itu meninggalkan amalan terus-menerus akan diterima hasilnya setelah mati. Jadi, bukan dari kiriman hasil amalan orang lain, melainkan amalan dia sendiri juga.
Hal ini dijelaskan oleh hadist yang diriwayatkan Imam Muslim, Abu Dawud, An Nasai dan Tirmizi dari Abu Hurairah "Apabila anak Adam meninggal, maka putuslah amalannya kecuali dalam tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya oleh orang lain darinya dan anak shaleh yang mendoakannya"
ketiganya ini adalah amal orang itu sendiri ketika hidup
Setelah mati, amal itu masih tinggal dan berkembang dan dia menerima hasilnya saja.
Dari hadist diatas kita mendapat pengetahuan, walaupun orang telah meninggal dunia, masih ada jalan untuknya menerima pahala terus-terusan, dari amalnya saat hidup dulu.
Bukannya dengan meminta kepada orang lain membaca tahlil atau al-Fatihah atau Yasin dan orang itu sudi pula menghadiahkan pahalanya kepada kita. Sebab cara yang demikian terlalu berbelit-belit jalannya dan tidak dijamin akan sampai.
Banyak ayat yang menyatakan setiap orang akan bertanggung jawab langsung kepada Allah, diperiksa tentang dosa dan pahalanya sendiri, walau sebesar zarrah
(Hamka/ Tafsir Al-Azhar:lll/365-367)
Mereka yang selama ini menghadiahkan pahala sadarkah mereka dengan hakikat ini? Jika kita jelaskan terkadang merekapun marah, entah karna kita yang salah cara dalam menasehati atau memang urat lehernya mudah tegang?
Dan merugilah kita setelah mengetahuinya namun tidak menanam biji tiga amal jariah dalam hadist diatas, sehingga ia tumbuh dan hasilnya kita petik saat kita dalam kubur kelak.
Bersegeralah cari bibit itu, bersemangatlah menanam pahala yang mengalir itu sebelum waktu menghentikanmu!
(Rail/Alam takambang jadi guru : ...)
Dengan membaca Al Fatihah dan semacamnya kita mengharap Allah taala memberikan kita pahala dari bacaan itu bukan?
Soal pahala adalah soal karunia Allah taala, karunia Allah adalah perkara gaib. Ia bukan sebagai kuitansi yang terang diterima dengan tangan.
Kemudian pahala itu kita hadiahkan kepada orang yang telah mati, sudah terangkah pahala itu ada ditangan kita?
Maka, setelah pahala yang telah kita terima itu kita minta tolong kapada Allah mengahadiahkannya untuk mayyit, masihkah kita berpahala juga?
Kalau memang perbuatan ini berasal dari agama, alangkah senangnya orang yang sudah mati! Selalu dikirim pahala oleh orang hidup.
Yang terang sebagai sunnah dan teladan Rasulullah Shallallahu alaihi wasallam adalah mendoakan orang yang telah mati agar diberi rahmat, karunia dan kelapangan oleh Allah taala.
Berdoa demikian memang berpahala dan pahalanya untuk orang yang berdoa, adapun doa itu dikabulkan atau tidak, terserah kepada Allah sendiri.
Masih adakah hubungan orang yang sudah mati dengan yang masih hidup?
Tentu, jika orang yang telah mati itu meninggalkan amalan terus-menerus akan diterima hasilnya setelah mati. Jadi, bukan dari kiriman hasil amalan orang lain, melainkan amalan dia sendiri juga.
Hal ini dijelaskan oleh hadist yang diriwayatkan Imam Muslim, Abu Dawud, An Nasai dan Tirmizi dari Abu Hurairah "Apabila anak Adam meninggal, maka putuslah amalannya kecuali dalam tiga hal, sedekah jariyah, ilmu yang diambil manfaatnya oleh orang lain darinya dan anak shaleh yang mendoakannya"
ketiganya ini adalah amal orang itu sendiri ketika hidup
Setelah mati, amal itu masih tinggal dan berkembang dan dia menerima hasilnya saja.
Dari hadist diatas kita mendapat pengetahuan, walaupun orang telah meninggal dunia, masih ada jalan untuknya menerima pahala terus-terusan, dari amalnya saat hidup dulu.
Bukannya dengan meminta kepada orang lain membaca tahlil atau al-Fatihah atau Yasin dan orang itu sudi pula menghadiahkan pahalanya kepada kita. Sebab cara yang demikian terlalu berbelit-belit jalannya dan tidak dijamin akan sampai.
Banyak ayat yang menyatakan setiap orang akan bertanggung jawab langsung kepada Allah, diperiksa tentang dosa dan pahalanya sendiri, walau sebesar zarrah
(Hamka/ Tafsir Al-Azhar:lll/365-367)
Mereka yang selama ini menghadiahkan pahala sadarkah mereka dengan hakikat ini? Jika kita jelaskan terkadang merekapun marah, entah karna kita yang salah cara dalam menasehati atau memang urat lehernya mudah tegang?
Dan merugilah kita setelah mengetahuinya namun tidak menanam biji tiga amal jariah dalam hadist diatas, sehingga ia tumbuh dan hasilnya kita petik saat kita dalam kubur kelak.
Bersegeralah cari bibit itu, bersemangatlah menanam pahala yang mengalir itu sebelum waktu menghentikanmu!
(Rail/Alam takambang jadi guru : ...)
Tidak ada komentar: