Subuh bergerak cepat. Saat itu, kami berada di pusaran kabut sebuah kedai kopi. Tempat bus antar kota kerap berhenti. Nama rest cafe ini Tram Dung Chan Hung Thinh 4. Kami ngopi di sana. Walau dingin, kopi di Vietnam tetap dihidangkan pakai es. Kalau minta panas, kopi di Vietnam selalu berisi seperempat gelas saja. Dan, kopi Vietnam memang enak. Walau di Jakarta pernah mematikan, itu bukan karena kopinya, tapi karena sianidanya. Nama kerennya kopi Mirna.
Jumat (22/10) ini adalah malam pertama kami di Vietnam. Bayangan tentang negeri ini memang sangat menggelitik hati. Sejak awal diberi tahu, bahwa ada rombongan penulis dan sastrawan yang akan bermuhibah ke sana, saya langsung menyatakan ketertarikan. Saya memang sangat tertarik untuk datang ke negeri seperti ini.
Bukan karena cerita bahwa gadis-gadis Vietnam yang kecil mungil namun cantik samlehoi, tapi lebih karena di sini, di negeri ini, dulu pernah berdiri peradaban Melayu beribu tahun. Di sini pernah mendengung suara adzan dan orang-orang membaca Alquran. Di sini, di tanah bertuah ini, dulu berdiri Kerajaan Champa, induk segala kerajaan Melayu di nusantara. Islam menjadi agama 'resmi' dan mayoritas tunggal di negeri ini dalam waktu lama.
Namun kini Melayu dan Islam hanyalah cerita lama pengantar tidur. Dia hanya pemanis bibir dan menyenang-nyenangkan hati. Karena pada kenyataannya, di Vietnam hanya ada sekitar 700 ribu muslim dari total lebih 100 juta penduduknya. Tak sampai 1 persen. Di negara yang memiliki garis pantai 3.642 Km itu hanya ada 70 masjid dan 1 pondok pesantren. Sudahlah jumlahnya sedikit, aktivitas ibadahnya pun luar biasa dipersulit. Kalaulah tidak ada penetapan dari Perserikatan Bangsa-bangsa untuk kembali melestarikan kerajaan yang hilang, yaitu Empire of Champa, pastilah Vietnam masih menjadi misteri. Pastilah Vietnam menjadi kawasan eksklusif yang tidak semua orang bisa masuk ke sana.
Malam itu, di kedai kopi yang lengang, kami memang terbabit dalam cerita tentang komunisme. Dengan suara agak lantang seperti orang Vietnam yang juga suka berbicara keras. Namun setiap kami bicara komunis, sang sastrawan Vietnam yang bertindak sebagai guide, langsung mengerlingkan mata. Seperti tidak suka. Dia pun berucap sedikit berbisik, ''Di sini kite kena cakap soal komunis tak bolehlah. Banyak spy (mata-mata) di sini,'' katanya.
Yap, spy! Mata-mata! Itulah kalimat pembungkam mulut kami. Ternyata Vietnam bukanlah negeri yang ramah bagi pengunjungnya. Apalagi bagi turis muslim dan Melayu, Vietnam bukanlah negeri yang bersahabat. Tapi dasar sastrawan. Dasar penulis. Tetap saja mulut tak bisa dibungkam (apalagi tulisannya!). Sebagai siasat, setiap kami harus mengucapkan kata komunis, kami akan menggantinya dengan 'ayam'.
Di Paduranga, sebuah kawasan tepi pantai, kami baru dapat menemukan masjid. Di wilayah yang lebih luas dari sebuah provinsi ini kami dapat informasi hanya ada 4 buah masjid Cham Islam. Memang ada 7 masjid Cham Bani, yaitu penduduk yang mengaku muslim tapi tidak menjalankan syariat secara benar. Paduranga ini dulunya adalah pusat kekuasaan Kerajaan Champa.
Jumat (22/10) ini adalah malam pertama kami di Vietnam. Bayangan tentang negeri ini memang sangat menggelitik hati. Sejak awal diberi tahu, bahwa ada rombongan penulis dan sastrawan yang akan bermuhibah ke sana, saya langsung menyatakan ketertarikan. Saya memang sangat tertarik untuk datang ke negeri seperti ini.
Bukan karena cerita bahwa gadis-gadis Vietnam yang kecil mungil namun cantik samlehoi, tapi lebih karena di sini, di negeri ini, dulu pernah berdiri peradaban Melayu beribu tahun. Di sini pernah mendengung suara adzan dan orang-orang membaca Alquran. Di sini, di tanah bertuah ini, dulu berdiri Kerajaan Champa, induk segala kerajaan Melayu di nusantara. Islam menjadi agama 'resmi' dan mayoritas tunggal di negeri ini dalam waktu lama.
Namun kini Melayu dan Islam hanyalah cerita lama pengantar tidur. Dia hanya pemanis bibir dan menyenang-nyenangkan hati. Karena pada kenyataannya, di Vietnam hanya ada sekitar 700 ribu muslim dari total lebih 100 juta penduduknya. Tak sampai 1 persen. Di negara yang memiliki garis pantai 3.642 Km itu hanya ada 70 masjid dan 1 pondok pesantren. Sudahlah jumlahnya sedikit, aktivitas ibadahnya pun luar biasa dipersulit. Kalaulah tidak ada penetapan dari Perserikatan Bangsa-bangsa untuk kembali melestarikan kerajaan yang hilang, yaitu Empire of Champa, pastilah Vietnam masih menjadi misteri. Pastilah Vietnam menjadi kawasan eksklusif yang tidak semua orang bisa masuk ke sana.
Malam itu, di kedai kopi yang lengang, kami memang terbabit dalam cerita tentang komunisme. Dengan suara agak lantang seperti orang Vietnam yang juga suka berbicara keras. Namun setiap kami bicara komunis, sang sastrawan Vietnam yang bertindak sebagai guide, langsung mengerlingkan mata. Seperti tidak suka. Dia pun berucap sedikit berbisik, ''Di sini kite kena cakap soal komunis tak bolehlah. Banyak spy (mata-mata) di sini,'' katanya.
Yap, spy! Mata-mata! Itulah kalimat pembungkam mulut kami. Ternyata Vietnam bukanlah negeri yang ramah bagi pengunjungnya. Apalagi bagi turis muslim dan Melayu, Vietnam bukanlah negeri yang bersahabat. Tapi dasar sastrawan. Dasar penulis. Tetap saja mulut tak bisa dibungkam (apalagi tulisannya!). Sebagai siasat, setiap kami harus mengucapkan kata komunis, kami akan menggantinya dengan 'ayam'.
Apa hubungannya komunis dengan ayam? Tak ada. Ini hanya untuk menghemat nyawa saja. Ayam eh komunis di Vietnam adalah momok yang sangat menakutkan. Bagi warga Vietnam Selatan, komunis adalah penjajah. Mereka adalah orang-orang Vietnam Utara yang dibantu China dan Uni Soviet yang telah menjajah negeri mereka, Yang telah membunuh saudara-saudara muslim mereka. Yang telah menghancurkan peradaban mereka. Yang telah menghilangkan bahasa mereka. Yang telah menghilangkan kebebasan hidup, kebebasan berbicara, kebebasan beribadah.Kami sampai di Paduranga dengan mata yang sulit terpejam setelah 7 jam di perjalanan. Setelah dirazia polisi Vietnam dan kemudian dilepaskan dengan sejumlah uang tebusan, kami memang tidak menemukan masjid tempat berhenti untuk melaksanakan shalat shubuh. Terpaksalah shalat shubuh di van dengan tayamum di jok kursi. Kami juga jadi tak leluasa berbicara walaupun ini hanya di dalam van dan satu orang Vietnam komunis, yaitu driver. Bukankah sangat bisa jadi sang driver juga merangkap menjadi mata-mata?
Di Paduranga, sebuah kawasan tepi pantai, kami baru dapat menemukan masjid. Di wilayah yang lebih luas dari sebuah provinsi ini kami dapat informasi hanya ada 4 buah masjid Cham Islam. Memang ada 7 masjid Cham Bani, yaitu penduduk yang mengaku muslim tapi tidak menjalankan syariat secara benar. Paduranga ini dulunya adalah pusat kekuasaan Kerajaan Champa.
Di sini bermakam Sulthan Umdatuddin, seorang maharaja yang menguasai Champa dan lautan nusantara. Namun, walau ini adalah pusat kekuasaan kerajaan yang maha besar, tak ada puing-puing kejayaan itu yang tersisa. Satu-satunya yang bisa ditunjuk hanyalah makam sang Sulthan yang kini berada di komplek Candi Hindu Champa.
Sejarah Melayu dan Islam memang benar-benar lenyap di Vietnam. Sebenarnya, sebelum tahun 1975, masih banyak situs-situs Champa ang masih berdiri. Beberapa masjid dari abad-abad sebelumnya masih ada. Namun setelah invasi komunis Vietnam Utara ke kawasan ini, akhirnya semua situs itu hancur berantakan. Sekali lagi, bukan hanya kawasan Champa (Vietnam Selatan) ynag dicaplok wilayahnya, penduduk muslimnya juga dibunuh, agamanya dilarang, budayanya dihabisi, bahkan bahasa mereka pun diganti dengan bahasa Viet Dai.
Dalam beberapa tulisan saya selama di Vietnam, selalu saya akhiri dengan kalimat pesimis, kalimat takut, ''semoga selamat keluar dari Vietnam'. Sebenarnya kalimat itu menjadi bahan batin kami untuk mampu bertahan hidup. Karena, seperti yang disebutkan terdahulu, selama di Vietnam kami memang dimata-matai sejak awal. Proses spy di Vietnam bukan hanya di kedai kopi atau pusat keramaian, bahkan di masjid pun proses spy ini berlangung. (bersambung)
Oleh Saidul Tombang
Sejarah Melayu dan Islam memang benar-benar lenyap di Vietnam. Sebenarnya, sebelum tahun 1975, masih banyak situs-situs Champa ang masih berdiri. Beberapa masjid dari abad-abad sebelumnya masih ada. Namun setelah invasi komunis Vietnam Utara ke kawasan ini, akhirnya semua situs itu hancur berantakan. Sekali lagi, bukan hanya kawasan Champa (Vietnam Selatan) ynag dicaplok wilayahnya, penduduk muslimnya juga dibunuh, agamanya dilarang, budayanya dihabisi, bahkan bahasa mereka pun diganti dengan bahasa Viet Dai.
Dalam beberapa tulisan saya selama di Vietnam, selalu saya akhiri dengan kalimat pesimis, kalimat takut, ''semoga selamat keluar dari Vietnam'. Sebenarnya kalimat itu menjadi bahan batin kami untuk mampu bertahan hidup. Karena, seperti yang disebutkan terdahulu, selama di Vietnam kami memang dimata-matai sejak awal. Proses spy di Vietnam bukan hanya di kedai kopi atau pusat keramaian, bahkan di masjid pun proses spy ini berlangung. (bersambung)
Oleh Saidul Tombang
Tidak ada komentar: