Ada kaidah mulia yang senantiasa dijunjung tinggi oleh para ulama, bahwa membantah dan mengkritik kekeliruan sosok panutan dalam masalah agama, merupakan bagian dari kewajiban agama paling mulia, tanpa harus mengonfirmasi kepada pihak yang menjadi sumber kesalahan. Dengan tujuan, menjaga keutuhan agama dan mengikis syubhat agar tidak mencemari keagamaan umat Islam.
Buktinya para ulama sepanjang masa, mereka saling bantah membantah dan kritik mengkritik tanpa harus mengonfirmasikan kepada pihak yang bersalah, selagi kesalahan itu terkait dengan masalah agama yang membahayakan umat, bahkan ketika Imam Ibnu Taimiyah membantah kesesatan Bakri dan menulis sebuah kitab al-Istighatsah fir Raddi ala Bakry, tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu.
Malah saat Imam Ibnu Taimiyah mendapatkan fakta akurat dan bukti kuat kesesatan al-Bakri, maka beliau meluruskannya melalui tulisan diatas, dalam rangka menjaga kemurnian agama dan kemaslahatan umat supaya tidak tersesat dalam mengikuti sosok panutan. Sehingga Imam adz-Dzahabi berkata,
Buktinya para ulama sepanjang masa, mereka saling bantah membantah dan kritik mengkritik tanpa harus mengonfirmasikan kepada pihak yang bersalah, selagi kesalahan itu terkait dengan masalah agama yang membahayakan umat, bahkan ketika Imam Ibnu Taimiyah membantah kesesatan Bakri dan menulis sebuah kitab al-Istighatsah fir Raddi ala Bakry, tanpa melakukan konfirmasi terlebih dahulu.
Malah saat Imam Ibnu Taimiyah mendapatkan fakta akurat dan bukti kuat kesesatan al-Bakri, maka beliau meluruskannya melalui tulisan diatas, dalam rangka menjaga kemurnian agama dan kemaslahatan umat supaya tidak tersesat dalam mengikuti sosok panutan. Sehingga Imam adz-Dzahabi berkata,
وما زال العلماء قديما وحديثا يرد بعضهم علي بعض في البحث وفِي التواليف وبمثل ذلك ينفقه العالم وتبرهن له المشكلات ولكن في زماننا قد يعاقب الفقيه إذا اعتني بذلك لسوء نيته ولطلبه للظهور والتكثر فيقوم عليه قضاة وأضداد ونسأل الله حسن الخاتمة وإخلاص العمل. (السير)
Para ulama dari dahulu hingga sekarang saling bantah-membantah pendapat di antara mereka baik berupa penelitian dan karya tulis. Dengan cara itu, seorang ulama akan bertambah alim dan permasalahan bisa terurai dengan jelas. Tetapi zaman sekarang kadang seorang alim dipersalahkan, karena melakukan itu, disebabkan dikuasai niat buruk, ingin kesohor dan punya banyak massa. Akhirnya dikerahkan para hakim dan rival-rival untuk menindaknya. Kami memohon husnul khatimah dan amal yang ikhlas.
Setelah membaca klarifikasi ustad Abdul Somad tentang makna RAHMATAN LIL 'ALAMIIN, yang paling menggelitik pikiran saya adalah tulisan beliau yang berbunyi:
"10 TAHUN DI MADINAH SETELAH MEMILIKI KEKUASAAN. BARULAH TERWUJUD PEMERATAAN KEADILAN DENGAN BAHASA AL-QUR'AN: RAHMATAN LIL 'ALAMIIN"
Sebelum mendiskusikan panjang lebar klarifikasi tentang Rahmatan Lil 'Alamin, maka penting disampaikan bahwa secara dasar maksud rahmat adalah al-Qur'an termasuk as-Sunnah yang menafsirkannya sebagaimana firman Allah,
Setelah membaca klarifikasi ustad Abdul Somad tentang makna RAHMATAN LIL 'ALAMIIN, yang paling menggelitik pikiran saya adalah tulisan beliau yang berbunyi:
"10 TAHUN DI MADINAH SETELAH MEMILIKI KEKUASAAN. BARULAH TERWUJUD PEMERATAAN KEADILAN DENGAN BAHASA AL-QUR'AN: RAHMATAN LIL 'ALAMIIN"
Sebelum mendiskusikan panjang lebar klarifikasi tentang Rahmatan Lil 'Alamin, maka penting disampaikan bahwa secara dasar maksud rahmat adalah al-Qur'an termasuk as-Sunnah yang menafsirkannya sebagaimana firman Allah,
ثُمَّ تَوَلَّيْتُم مِّن بَعْدِ ذَٰلِكَ ۖ فَلَوْلَا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ لَكُنتُم مِّنَ الْخَاسِرِينَ [البقرة : 64]
Kemudian kamu berpaling setelah itu maka kalau tidak ada karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu niscayalah kamu akan termasuk orang-orang yang merugi atau celaka.
Dari hasil kutipan Imam Thabary dari Abu 'Aliyah ketika beliau menafsirkan fadhlullah (karunia Allah) adalah Islam dan rahmatNya adalah al-Qur'an.
Dari hasil kutipan Imam Thabary dari Abu 'Aliyah ketika beliau menafsirkan fadhlullah (karunia Allah) adalah Islam dan rahmatNya adalah al-Qur'an.
Dengan demikian, bahasa alQur'an tidak pernah mengenal makna seperti itu, justru cakupan rahmat memuat seluruh kebenaran dan kebaikan Islam yang tertuang dalam al-Qur'an dan as-Sunnah, sehingga membatasinya hanya pada pemerataan keadilan sosial pada era Madinah memunculkan insiden tafsir, bahkan kekeliruan tampak fatal ketika ustadz Abdul Somad memaknai cakupan RAHMATAN LIL 'ALAMIIN, seakan hanya membatasi dan membonsai pada pemerataan keadilan sosial yang terakumulasi dalam kekuasaan periode Madinah.
Tidak dipungkiri bahwa pemerataan keadilan sosial bagi seluruh umat manusia, baik Muslim dan kafir menjadi bagian struktural parsial bukan struktural subtansial dari cakupan literasi RAHMATAN LIL 'ALAMIIN, sebagaimana penegasan Ibnu 'Asyuur dalam tafsirnya,
أما رحمة الإسلام بالأمم غير المسلمين فإنما نعني به رحمته بالأمم الداخلة تحت سلطانه وهم أهل الذمة . ورحمته بهم عدمُ إكراههم على مفارقة أديانهم ، وإجراءُ العدل بينهم في الأحكام بحيث لهم ما للمسلمين وعليهم ما عليهم في الحقوق العامة .
Adapun rahmat Islam kepada non muslim maksudnya adalah rahmat kepada umat yang berada dalam kekuasaan Islam, yaitu ahli dzimmah. Dan maksud rahmat Islam kepada mereka adalah mereka tidak dipaksa untuk melepas agama mereka, bahkan mereka diperlakukan secara adil dalam hukum, mereka mendapat hak-hak dasar seperti yang didapat oleh kaum Muslimin dan terkena beban kewajiban dasar seperti kaum Muslimin juga.
Akan tetapi, rahmat Islam itu mengucur ke seluruh alam semesta, sejak dimaklumkan tugas nubuwwah dan risalah, sehingga pesan RAHMATAN LIL 'ALAMIIN teguh dan tegak sejak diutusnya beliau yang tugas utamanya adalah mengukuhkan dimensi 'ubudiyah dan pilar-pilar tauhid sebagaimana firman Allah,
Akan tetapi, rahmat Islam itu mengucur ke seluruh alam semesta, sejak dimaklumkan tugas nubuwwah dan risalah, sehingga pesan RAHMATAN LIL 'ALAMIIN teguh dan tegak sejak diutusnya beliau yang tugas utamanya adalah mengukuhkan dimensi 'ubudiyah dan pilar-pilar tauhid sebagaimana firman Allah,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِّلْعَالَمِينَ [الأنبياء : 10]
Dan tiadalah Kami mengutus kamu (hai Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.
Oleh sebab itu, rahmat menurut Said bin Jubair yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas sebagaimana yang dikutib oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya bahwa Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh manusia, siapa yang beriman kepadanya dan membenarkannya maka akan bahagia dan siapa yang tidak beriman, dia hanya selamat dari adzab longsor dan tenggelam sebagaimana yang menimpa umat-umat dahulu.
Dari sini makna rahmat paling mendasar adalah beriman kepada risalah, sehingga Ibnu Zaid mengkhususkan rahmat bagi orang-orang yang beriman saja.
Oleh karena itu, inti dasar rahmat adalah keimanan kepada risalah dan nubuwwah beliau, maka Rasulullah bersabda,
Oleh sebab itu, rahmat menurut Said bin Jubair yang meriwayatkan dari Ibnu Abbas sebagaimana yang dikutib oleh Imam al-Qurthuby dalam tafsirnya bahwa Nabi Muhammad sebagai rahmat bagi seluruh manusia, siapa yang beriman kepadanya dan membenarkannya maka akan bahagia dan siapa yang tidak beriman, dia hanya selamat dari adzab longsor dan tenggelam sebagaimana yang menimpa umat-umat dahulu.
Dari sini makna rahmat paling mendasar adalah beriman kepada risalah, sehingga Ibnu Zaid mengkhususkan rahmat bagi orang-orang yang beriman saja.
Oleh karena itu, inti dasar rahmat adalah keimanan kepada risalah dan nubuwwah beliau, maka Rasulullah bersabda,
" إنما أنا رحمة مهداة "
Sesungguhnya aku adalah pembawa rahmat dan penunjuk.
Dan sejatinya hadirnya RAHMATAN LIL 'ALAMIIN sejak pertama kali diutusnya Rasulullah tanpa membedakan antara periode Mekah dan periode Madinah hingga menunggu tersebarnya pemerataan keadilan sosial yang terlahir dari mapannya kekuasaan.
Bahkan Imam al-Thabary mengutip dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ketika beliau menafsirkan ayat diatas berkata, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berhak memantik rahmat di dunia dan akhirat.
Jadi, Nabi Muhammad telah mewujudkan peran dan pesan RAHMATAN LIL 'ALAMIIM secara sempurna baik pada periode Mekah dan periode Madinah. Sehingga beliau diutus sebagai nabi rahmat tanpa pembatasan sebelum atau sesudah memiliki kekuasaan sebagaimana sabda beliau,
Dan sejatinya hadirnya RAHMATAN LIL 'ALAMIIN sejak pertama kali diutusnya Rasulullah tanpa membedakan antara periode Mekah dan periode Madinah hingga menunggu tersebarnya pemerataan keadilan sosial yang terlahir dari mapannya kekuasaan.
Bahkan Imam al-Thabary mengutip dari Said bin Jubair dari Ibnu Abbas ketika beliau menafsirkan ayat diatas berkata, barang siapa yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir maka berhak memantik rahmat di dunia dan akhirat.
Jadi, Nabi Muhammad telah mewujudkan peran dan pesan RAHMATAN LIL 'ALAMIIM secara sempurna baik pada periode Mekah dan periode Madinah. Sehingga beliau diutus sebagai nabi rahmat tanpa pembatasan sebelum atau sesudah memiliki kekuasaan sebagaimana sabda beliau,
" إني لم أبعث لعانا ، وإنما بعثت رحمة "
Sungguh aku tidak diutus untuk mengutuk tetapi aku diutus menjadi rahmat.
Dengan demikian Imam Thabari menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai membawa pesan Rahmat (RAHMATAN LIL 'ALAMIIN), untuk seluruh alam semesta, baik mukmin maupun kafir. Adapun rahmat kepada mukmin, berupa petunjuk dan masuk dalam lingkaran keimanan serta beramal apa saja yang dipesankan beliau agar seorang Muslim masuk surga. Adapun rahmat kepada orang kafir, mereka ditunda adzab segera di dunia sebagaimana yang menimpa umat-umat yang mendustakan para utusan Allah sebelum nabi Muhammad.
Dengan demikian Imam Thabari menegaskan bahwa Nabi Muhammad diutus sebagai membawa pesan Rahmat (RAHMATAN LIL 'ALAMIIN), untuk seluruh alam semesta, baik mukmin maupun kafir. Adapun rahmat kepada mukmin, berupa petunjuk dan masuk dalam lingkaran keimanan serta beramal apa saja yang dipesankan beliau agar seorang Muslim masuk surga. Adapun rahmat kepada orang kafir, mereka ditunda adzab segera di dunia sebagaimana yang menimpa umat-umat yang mendustakan para utusan Allah sebelum nabi Muhammad.
Oleh: ustadz zainal abidin, lc
Tidak ada komentar: